Minggu, 19 Oktober 2014

PRODUKSI EKONOMI DALAM ISLAM

Pengertian dan Tujuan Produksi Menurut Islam
http://ikhwanuna1.blogspot.com/
Produksi adalah sebuah proses yang telah terlahir di muka bumi ini semenjak manusia menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam.[1] Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir alintaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas). Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen.

Beberapa ahli ekonomi islam memberikan definisi yang berbeda mengenai pengertian produksi, meskipun substansinya sama. Berikut pengertian produksi menurut para ekonomi muslim kontemporer.
1.    Karf (1992) mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
2.    Rahman (1995) menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distribusi produksi secaraa merata).
3.    Produksi yang Islami menurut Siddiqi (1992) adalah penyediaan barang dan jasa dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan dan kebijakan atau manfaat(mashlahah) bagi masyarakat. Dalam pandangannya, sepanjang produsen telah bertindak adil dan membawa kebijakan bagi masyarakat maka ia telah bertindak Islami.[2]
Manusia dengan akalnya yang sempurna telah diperintahkan oleh Allah untuk dpaat terus mengoleh alam ini bagi kesinambungan alam itu sendiri, dalam hal ini nampaklah segala macam kegiatan produksi amat bergantung kepada siapa yang memproduksi (subyek) yang diharapkan dpat menjadi pengolah alam ini menuju kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Ayat yang berkaitan dengan produksi terdapat dalam Surat Al-Baqarah : 272
* }§øŠ©9 šøn=tã óOßg1yèd £`Å6»s9ur ©!$# Ïôgtƒ ÆtB âä!$t±o 3 $tBur(#qà)ÏÿZè? ô`ÏB 9Žöyz öNà6Å¡àÿRL|sù 4 $tBur šcqà)ÏÿZè? žwÎ) uä!$tóÏFö/$# Ïmô_ur«!$# 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? ô`ÏB 9Žöyz ¤$uqムöNà6ös9Î) ÷LäêRr&ur Ÿw šcqãKn=ôàè?ÇËÐËÈ
   272. bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).
Kegiatan produksi merupakan respon terhadap kegiatan konsumsi, atau sebaliknya. Kegiatan produksi dan konsumsi merupakan sebuah mata rantai yang saling berkait satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, kegiatan produksi harus sepenuhnya sejalan dengan kegiatan konsumsi. Apabila keduanya tidak sejalan, maka tentu saja kegiatan ekonomi tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan.[3]
Dalam konsep ekonomi konvensional, produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam islam yang bertujuan untuk memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen. Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Secara lebih spesifik, tujuan kegiatan produksi adalah meningkatkan kemashlahatan yang bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk diantaranya:
1.      Pemenuhan kebutuhan manusai pada tingkat moderat.
2.      Menemukan kebutuhan masyarakat da pemenuhannya.
3.      Menyiapkan persediaan barang/jasa dimasa depan.
4.      Pemenuhan sarana bagi kegaitan social dan ibadah kepada Allah.
Tujuan produksi yang pertama sangat jelas, yaitu pemenuhan sarana kebutuhan manusia pada takaran moderat. Hal ini akan menimbulkan setidaknya dua implikasi. Pertama, produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan meskipun belum tentu merupakan keinginan konsumen. Barang dan jasa yang dihasilkan harus memiliki manfaat riil bagi kehidupan yang islami. Kedua, kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar. Produksi barng dan jasa secara berlebihan tidak saja menimbulkan mis-alokasi sumber daya ekonomi dan kemubadziran, tetapi juga menyebabkan terkurasnya sumber daya ekonomi ini secara cepat.
Tujuan yang terakhir yaitu pemenuhan sarana bagi kegiatan social dan ibadah kepada Allah. Sebenarnya ini merupakan tujuan produksi yang paling orisinal dari ajaran islam. Dengn kata lain, tujuan produksi adalah mendapatkan berkah, yang secara fisik belum tentu dirasakan oleh pengusaha itu sendiri.[4]




B.     Motiv Berproduksi Dalam Islam
Kegiatan produksi dalam ilmu ekonomi diartikan sebagai kegiatan yang menciptakan  manfaat (utility) baik dimasa kini maupun dimasa mendatang (M.Frank, 2003). Dengan pengertian yang lusa tersebut, kita memahami kegitan produksi  tidak terlepas dari keseharian manusia.[5]
Motif maksimalisasi kepuasan dan maksimalisasi keuntngan yang menjadi pendorong utama sekaligus tujuan dari keputusan ekonomi dalam pandangan ekonomi konvensional bukannya salah ataupun dilarang dalam Islam. Islam ingin mendudukkannya pada posisi yang benar, yakni semua itu dalam rangka maksimalisasi kepuasan dan keuntungan di akhirat. Perlu diingat sejarah pemikiran ekonomi dan ilmu pengetahuan pada umumnya yang bangkit sejak jaman Renaisans, suatu jaman dimana terjadi perubahan ukuran kebenaran dari yang semula bersandar kepada wahyu dan dogma gereja menjadi bersandar kepda logika, bukti-bukti empiris, positivisme. Perubahan ukuran kebenaran tersebut membuat ilmu pengetahuan maju pesat, akan tetapi ia menjadi sangat sekuler.[6]
Isu penting yang kemudian berkembang menyertai motivasi produksi ini adalah masalah etika dan tanggung jawab sosial produsen. Keuntungan maksimal telah menjadi sebuah insentif yang teramat kuat bagi produsen untuk melaksanakan produksi. Akibatnya, motivasi untuk mencari keuntungan maksimal sering kali menyebabkan produsen mengabaikan etika dan tanggung jawab sosialnya. Segala hal perlu dilakukan untuk mencapai keuntungan yang setinggi-tingginya.[7]
Dalam pandangan ekonomi Islam, motivasi produsen semestinya sejalan dengan tujuan produksi dan tujuan kehidupan produsen itu sendiri. Jika tujuan produksi adalah menyediakan kebutuhan material dan spritual untuk mencptakan mashlahah, maka motivasi produsen tentu juga mencari mashlahah, dimana hal ini juga sejalan dengan tujuan kehidupan seorang muslim. Mencari keuntungan dalam produksi dan kegiatan bisnis memang tidak dilarang, sepanjang dalam bingkai tujuan dan hukum Islam.[8]
C.     Faktor-Faktor Produksi dalam Islam
Di kalangan para ekonomi Muslim, belum ada kesepakatan tentang faktor-faktor produksi, karena terdapat perbedaan pendapat dari para ulama. Menurut Al-Maududi dan Abu-Su’ud, faktor produksi terdiri atas amal/kerja (labor), tanah (land), dan modal(capital). Uraian ini berbeda dengan M.A. Mannan yang menyatakan bahwa faktor produksi hanya berupa amal/kerja dan tanah. Menurutnya capital (modal) bukanlah merupakan faktor produksi yang independen, karena capital (modal) bukanlah merupakan faktor dasar. Menerut An-Najjar, faktor produksi hanya terdiri dari dua elemen, yaitu amal (labor) dan capital. Abu Sulaiman menyatakan, amal bukanlah merupakan faktor produksi. Dalam syariah Islam, dasar hukum transaksi (muamalah) adalah ibahah (diperbolehkan) sepanjang tidak ditemukannya larangan dalam nash atau dalil.
1.      Amal/Kerja (Labor)
Amal adalah segala daya dan upaya yang dicurahkan dalam menghasilkan dan menigkatkan kegunaan barang dan jasa, baik dalam bentuk teoretis (pemikiran, ide, konsep) maupun aplikatif (tenaga, gerakan) yang sesuai dengan syariah. Pada dasarnya, ada dua tujuan yang harus dicapai oleh produsen dalam melakukan pekerjaan, yaitu dengan spiritualisme konotasi ibadah.
2.      Bumi/Tanah (Land)
Land (tanah) meliputi segala sesuatu yang ada di dalam dan di luar ataupun disekitar bumi yang menjadi sumber-sumber ekonomi, seperti pertambangan, pasir, tanah pertanian, sungai dan lain sebagainnya. Bumi biasa diberdayakan untuk pertanian, perternakan, pendirian kawasan industry, perdagangan, sarana transportasi, ataupun pertambangan.
Mekanisme pemberdayaan bumi, ulama fiqh berbeda pendapat tentang mekanisme pemberdayaan lahan pertanian oleh orang lain dan penentuan return yang berhak diperoleh masing-masing pihak. Sebagian berpendapat, bahwa mekanisme yang tepat adalah muzara’ah. Akan tetapi, ulama yang lain menolaknya dan menawarkan konsep penyewaan dengan sistem uang.
Al-Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik tanah memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara  Dengan imbalan bagian tertentu, misalnya setengah atau sepertiga dari hasil panen sesuai dengan kesepakatan.
3.      Modal (Capital)
Capital adalah bagian dari harta kekayaan yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa, seperti mesin, alat produksi, equipment (peralatan), gedung, fasilitas kantor, transportasi dan lain sebagainya. Dalam kapitalisme capital berhak mendapat bunga sebagai kompensasi pinjaman (return of loans).
Berdasarkan jangka waktu penggunaan capital, asset (kekayaan) biasa dibedakan menjadi dua macam, yaitu fixed asset (asset tetap) dan variabel asset (asset berubah).Fixed asset adalah capital yang digunakan untuk beberapa proses produksi dan tidak terjadi perubahan seperti bangunan, mesin, dan peralatan. Variabel asset adalah capitalyang digunakan untuk proses produksi dan akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan proses produksi yang dilakukan seperti labor, sumber energi, dan lainnya.
D.    Masalah Produksi dalam Pandangan Islam
Banyak orang yang melakukan kekeliruan ketika memecahkan masalah ekonomi, yaitu melepaskan gambaran dan peranan manusia dalam kehidupannya serta bagaimana ia menempuh jalan-jalan kesejahteraan hidup dan sebab-sebab rezekinya.
Hal itu karena kemauan manusia dan pengaruhnya dalam mendorong kekuatan manusia dan memajukan sebaik-baiknya. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri dan dipersoalkan lagi, seperti halnya dorongan nilai-nilai dan moral yang menekankan tersalurnya kemauan manusia dalam melakukan aktivitas produksi. Oleh karena itu hal ini tidak menjadi masalah apabila dalam produksi telah tergambarkan tiga peranan manusia.[9]  
Islam menggambarkan peranan manusia dalam alam semesta iniatas dasar tiga masalah pokok, yaitu:[10]
1.      Allah SWT menciptakan seluruh alam semesta sesuai dengan peraturan dan hukumnya.
2.      Allah SWT memerintahkan tunduk kepada umat manusia dari seluruh alam semesta ini, apa saja yang ia butuhkan dalam usahanya untuk hidup dan kelangsungan kehidupannya.
3.      Bekerja dan berusaha merupakan fitrah dan watak manusia dalam memakmurkan planet ini, mengeksploitasi sumber-sumber kamakmurannya, dan mengharapkan anugerah Allah yang tersimpan dalam planet ini.
E.     Perilaku dalam produksi Dalam Ekonomi Islam
Akhlak akan mendasari bagi seluruh aktivitas ekonomi, termasuk aktivitas ekonomi produksi. Menurut Yusuf Qardhawi[11] dikatakan, bahwa “akhlak merupakan hal yang utama dalma produksi yang wajib diperhatikan kaum muslimin, baik secara individu maupun bersama-sama, yaitu bekerja pada bidang yang dihalalkan oleh Allah SWT, dan tidak melampaui apa yang di haramkan oleh Allah SWT.” Dalam usaha bidang ekonomi tujuan utama adalah mencari keuntungan maksimum dengan mengatur penggunaan factor produksi seefisin mungkin, sehingga usaha memaksimumkan keuntungan dapat dicapai dengan cara yang paling efisien.dalam uasah seorang muslim belum tentu seperti itu, beberapa aspek dalam melakukan produksi oleh seorang muslim adalah :
1.      Berproduksi adalah ibadah, sama saja seorang muslim mengaktualisasikan Ibadah bersama dengan bisnis yang dijalankan.
2.      Factor produksi yang digunakan untuk menyelenggarakan produksi sifatnya tidak terbatas, untuk menggunakan manusia perlu berusaha mengoptimalkan segala kemampuan yang telah Allah berikan. Seorang muslim tidak akan kecil hati bahwa sesungguhnya rizki adalah dari Allah.
3.      Seorang muslim yakin bahwa Sesutu yang dikerjakan dengan ajaran islam tidak membuat hidupnya menjadi sulit.
4.      Berproduksi bukan hanya mencari keuntungan belaka. Dalam islam harta adlah titipan Allah sebagai amanah untuk dikelola mencapai kemaslahatan.
5.      Seorang muslim menghindari praktek produksi yang mengandung unsure haram atau riba, pasar gelap dan spekulasi..
F. Nilai-Nilai Islam Dalam Berproduksi
Upaya produsen untuk memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai islam. Dengan kata lain, seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang islami. Metwally mengatakan, “perbedaan dari perusahan-perusahan non muslim  tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya.
Nilai-nilai islam yng relevan dengan produksi dikembangkan dari tiga nilai utama dalm ekonomi islam, yaitu: khilafah, adil, dan takaful secara lebih rinci nilai-nilai islam dalam produksi meliputi:
1.      Berwawasan jangka panjang, yaitu berorientasi kepada tujuan akhirat;
2.      Menepati janji dan kontrak, baik dalam lingkup internal atau eksternal;
3.      Memenuhi takran, ketepatan, kelugasan dan kebenaran;
4.      Berpegang teguh pada kedisiplinan dan dinamis;
5.      Memuliakan prestasi/produktifitas;
6.      Mendorong ukhuwah antarsesama pelaku ekonomi;
7.      Menghormati hak milik individu;
8.      Mengikuti syarta sah dan rukun akad/transaksi;
9.      Adil dalam bertransaksi;
10.  Memiliki wawasan social;
11.  Pembayaran upah tepat waktu dan layak;
12.  Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalm islam.
Penerapan nilai-nilai diatas dalam produksi tidak saja akan mendatangkan keuntungan bagi produsen, tetapi sekaligus mendatangkan berkah. Kombinasi keuntungan dan berkah yang diproleh oleh produsen merupakan satu mashlahah yang akan member kontribusi bagi tercapinya falah. Dengan cara ini, maka produsen akan memperoleh kebahagiaan hakiki, yaitu kemuliaan tidak saja di dunia tetapi juga diakhirat.[12]



[1]  Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada), 2007, hal.102
[2] Pusat Pengkajian dan  Pengembangan Ekonomi Islam. Ekonomi Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008). Hal. 231
[3] Ibid. Hal. 232
[4]  Ibid, hal. 233
[5] Mustafa Edwin Nasution, M.Sc,MAEP, Ph.D., et al. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. (Jakarta: Kencana, 2007) , cet.II, hl. 102
[6] Ibid. Hlm. 102
[7] Pusat Pengkajian dan  Pengembangan Ekonomi Islam. Op. Cit.  Hal. 238 
[8] Ibid. Hal. 239-240
[9] Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, 2005.BPFE-Yogyakarta, hlm. 222
                [10] Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, 1999. Hlm. 127
[11]  Yusuf Qardhawi. Peran Nilai Dan Moral Dalam Perekonomian Islam (Jakarta: Rabbani Press, 1997). Hal. 169
[12] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi….,hal. 252

Tidak ada komentar:

Posting Komentar